IKHTISAR MATERI KULIAH


gambar53.jpg

IKHTISAR TOPIK:

LANDASAN  ILMIAH  ILMU  PENDIDIKAN   

BY   ERZUHEDI      

   PENDAHULUAN       

      Pendidikan merupakan kebutuhan pokok yang paling mendasar bagi manusia dan prosesnya sudah dimulai sejak manusia masih berada dalam kandungan ibunya. Menurut sebagian ahli tarbiah Islam, malahan persiapannya sudah dimulai sejak jauh sebelumya, yaitu saat penentuan dan pemilihan pasangan perkawinan. Rasulluh Saw. menyampaikan kepada umatnya, jika memilih jodoh maka lihatlah agama, keturunan, dan kecantikannya. Jika semua kriteria  itu ada maka utamakanlah agamanya.  Ini artinya, bahwa pembinaan kepribadian dari seorang anak itu sudah dimulai dari sejak pemilihan bibit (keturunan) dari pasangan calon ibu dan bapak yang akan memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.

            Begitu pentingnnya pendidikan (baca: ilmu) ini sampai-sampai Islam menyatakan bahwa untuk menuntutnya sudah diperintahkan sejak dia masih berada dalam ayunan sampai ke liang lahat. Allah Swt. sangat memuliakan orang yang berilmu. Bahkan kedudukan orang berilmu dalam perspektif Islam adalah berbeda, orang yang berilmu lebih tinggi dari orang yang bodoh. Allah Swt. berfirman:

Artinya,(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (Q.S.39:9).             

           Dari ayat Al-Quran di atas, dapat disimpulkan bahwa orang berilmu adalah termasuk orang yang beruntung karena dia bisa menerima pelajaran (berilmu) serta beribadah kepada Allah Swt. Yang beruntung itu bukan yang berilmu saja tetapi disamping berilmu juga taat beribadah kepada-Nya. Orang musyrik banyak yang berilmu tinggi namun mereka bukanlah orang yang beruntung karena tidak taat kepada Allh Swt.            Orang alim mengatakan bahwa ilmu yang Allah Swt. berikan kepada manusia ini hanya sedikit saja dari ilmu yang dimiliki-Nya. Ibarat seekor burung yang mencelupkan patuknya di lautan lalu setetes air yang tergenang di dalamnya, itulah ilmu yang ada di dunia dan lautan adalah ilmu yang dimiliki Allah Swt. Jika diibaratkan dengan hitungan, maka dari seratus persen ilmu yang dimilik Allah Swt. hanya satu persen yang diberikan kepada manusia. Yang setetes dan yang satu persen itulah yang dipelajari dan didalami manusia.            Yang satu persen itu sejak dulu hingga sekarang belum tuntas dipelajari orang bahkan masih banyak lagi yang belum ditemukan dan dikembangkan. Untuk itulah berbagai penelitan telah dikembangkan dalam banyak dan ragamnya. Dalam pengembangannya tentu saja wahana yang paling tepat adalah melalui pendidikan. Melalui pendidikan dibentuk dan dikembangkanlah segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah kehidupan, mulai dari masalah yang bersifat mendasar sampai ke yang menyeluruh dan komplek.            Untuk mewujudkan pendidikan itu dilihatlah masalahnya dari berbagai latar belakang dan sudut pandang keilmuan yang menjadi landasannya. Hadirnya mata kuliah Landasan Ilmiah Ilmu Pendidikan untuk jurusan bahasa Indonesia program pascasarjana Uneversitas Negeri Padang pada semester tiga sangat memberikan pengaruh yang positif terhadap penambahan wawasan mahasiswanya dalam mengenal landasan ilmiah pendidikan secara mendalam dan menyeluruh. Dengan demikian itu, silabus perkuliahan yang telah disusun dan dikembangkan dalam perkuliahan ini sangat berguna bagi mahasiswanya.        

     Berikut ini adalah topik-topik perkuliahan yang terdapat dalam silabus tersebut:1.   Bidang Ilmu dan Kajian Dasar-Dasar Pendidikan2.   Antropologi dan Pendidikan3.      Kebudayaan dan Pendidikan.4.      Kebudayaan dan Kepribadian.5.      Transmisi Budaya dan Perkembangan Institusi Pendidikan6.      Pendidikan dan Perbuhan SosialBudaya: Modernisasi dan Pembangunan.7.      Negara, Politik, dan Pendidikan.8.      Pendidikan dalam Masyarakat Modern dan Sederhana.9.      Ilmu Pendidikan dalam Perspektif  Filsafat.10.  Kebudayaan sebagai Isi Pendidikan.11.  Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia.12.  Hakikat Manusia.13.  Hakikat Masyarakat. 14.  Pendidikan dan Nilai-Nilai Budaya.15.  Kurikulum dan Guru dalamPerspektif Budaya.Tugas akhir mata kuliah ini, mahasiswanya  membuat bentuk ikhtisar ataupun ringkasan dari materi itu. Apapun bentuk penjelasannya, intinya  adalah mahasiswa memahami bagian-bagian topik serta hubungan dan kaitan masing-masingnya. Setelah memahami semua topik di atas, saya menyimpulkan bahwa inti dari semuanya adalah permasalahan yang berkaitan dengan:

1.      Filsafat,   2. Budaya,  3. Pendidikan,  4. Poloitik        5. Manusia  6. Kepribadian   7. Masyarakat   8. Negara.

Masing-masing topik itu tidaklah bersifat lepas atau terpisah sama sekali akan tetapi saling berkaitan dan berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung. Hubungannya tidak saja memberikan pengaruh tetapi juga sebaliknya, sehingga terdapat hubungan timbal balik. Pengaruh yang diberikan atau diterima oleh masing-masingnya tidak sama akan tetapi berbeda dari kualitas maupun kuantitasnya. Bagian manakah yang terlebih dahulu menciptakan atau memberikan pengaruh terhadap masing-masingnya? Di kalangan para ahli budaya dan pendidikan terdapat perbedaan yang bertolak belakang dari masing-masing dalam memberikan jawabannya.  Pendidikan   memiliki landasan ilmiah dari perspektif filsafat, budaya, politik, manusia, kepribadian, masyarakat, dan negara. Terlepas dari perbedaan pendapat antara para ahli yang mengatakan bahwa agama bagian dari budaya atau berdiri sendiri, yang jelas adalah rekomendasi agama terhadap pendidikan menjadi salah satu landasan yang cukup kokoh dan kuat bagi suatu pendidikan. Bahkan pendidikan dalam konteks mencari ilmu, wajib hukumnya menurut Islam.            Dari perspektif filsafat dapat dikatakan bahwa pendidikan mempunyai latar belakang dan landasan keilmuan yang bersifat menyeluruh dan komplek. Dalam kajain filsafat dibicarakan aspek pendidikan yang berkaitan dengan masalah yang hakiki dari kehidupan pribadi, masyarakat, negara, dan  manusia; tidak saja wujud lahiriah tetapi juga batiniah. Bahkan tiga ranah dalam kehidupan yang mencakup kognitif, afektif, dan psikomotor adalah bagian esensial dari dasar, proses, dan pencapaian hasil pendidikan. Walaupun memahami pendidikan dari sudut pandang filsafat membutuhkan ruang cukup besar, yang jelas adalah dasar falsafah yang dianut oleh suatu negara jelas mewarnai konsep, kebijakan, dan politik suatu negara dalam mengembangkan pendidikan.Tidak itu saja, pendidikan jelas berkaitan pula dengan kebudayaan dan politik yang dianut suatu negara. Secara makro kebudayaan banyak menumbuhkan, mempengaruhi, serta membentuk pribadi dan masyarakat yang berbudaya dengan corak dan karakteristik yang khas sehingga melahirkan fariasi dan bentuk-bentuk masyarakat yang merupakan ciri dan sekaligus menjadi modal budaya dari suatu negara. Dalam pengembangannya tentu pendidikan sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh arah dan  kebijakan serta politik suatu negara. Dengan demikian, politik yang dijalankan suatu negara memberikan pengaruh terhadap pengembangan pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung.Demikianlah gambaran umum dan kaitan dari masing-masing topik perkuliahan Landasan Ilmiah Ilmu pendidikan ini, untuk lebih rincinya akan dibahas pada bagian berikutnya. 

I K H T I S A R 

I.          KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN 

Latar Belakang filosofis dan sosial Budaya dari Pendidikan

 Latar Belakang Filosofis dari Pendidikan         

    Imam Barnadib (1990:7) menjelaskan bahwa ilmu pendidikan atau pedagogik adalah ilmu yang membicarakan masalah-masalah umum pendidikan, secara menyeluruh, dan abstrak. Pedagogik selain bercorak teoritis juga bersifat praktis. Untuk yang teoritis diutarakanlah hal-hal yang bersifat normatif, yaitu menunjuk kepada standard nilai tertentu; sedangkan yang praktis menunjukkan bagaimana pendidikan itu harus dilaksanakan.       

     Pedagogik sebagai ilmu pokok dalam lapangan pendidikan  supaya dapat memenuhi persyaratan landasan konsep dan fungsinya, sudah barang tentu memerlukan landasan-landasan yang berasasal dari filsafat atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dengan filsafat. Landasan-landasan yang berasal dari filsafat akan melahirkan pemikiran-pemikran yang teoritis mengenai pendidikan dan berbagai pemikiran pendidikan memerlukan penerangan dan bantuan penyelesaian dari filsafat.            Pendidikan merupakan salah satu aspek penting kehidupan yang bersifat kompleks dan menyeluruh serta memerlukan berbagai macam keterkaitan dan bantuan dari displin ilmu lain dalam mewujudkannya. Oleh karena itu, pendidikan perlu dilihat secara komprehesif dan totalitas. Untuk mewujudkannya tentu filsafat sangat dibutuhkan kehadirannya. Dengan berfikir filsafat, berbagai persoalan yang menyangkut dengan pendidikan diharapkan bisa diselesaikan sesuai dengan masalah pendidikan yang bersifat kompleks. Dengan demikian dapat pula dikatakan  bahwa pendidikan pada awal dan  proses perkembangannya  memerlukan pertimbangan dan pemikiran dari filsafat yang bersifat mendasar, teliti, dan teratur.       

     Menurut Theodore Brameld  (1958), perkembangan dan perubahan dalam lapangan pendidikan menimbulkan tantangan agar para pendidik mempunyai sikap tertentu yang bersendikan pada filosofis. Sikap tertentu itu, yang lazim dianut  adalah konservatif, bebas, modifikatif, regresif atau radikal rekonstruktif.             Sikap-sikap di atas dalam penjabarannya mengenai pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif serta tujuan pendidikan hendaklah diartiakan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus.
  2. Menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi dan hakikki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu.
  3. Yang menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan karena jiwa abad pertengahan telah merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional.
  4. Yang menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan daan teknologi. Dengan penyesuaian seperti ini anak didik akan tetap berada dalam suasana aman dan bebas. Menurut Theodore Brameld (1958) mengatakan bahwa visi-visi filosofis tersebut tidak sepenuhnya utuh atau kompak karena komponen-komponen yang membentuknya tidak sepenuhnya bersendikan pada satu corak. 

Latar Belakang Sosial Budaya dari Pendidikan     

        Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka dari itu, pendidikan sebagai usaha manusia yang mrupakan refleksi dari kebudayaan, dapat diperkirakan memiliki sifat-sifat yang sejiwa dengan kebudayaan tersebut.            Corak-corak baru dari kebudayaan dan peradaban manusia, yang telah mendasari dan menjiwai sejarah manusia selama ini mengantarkan manusia ke dalam zaman modern dan ultramodern. Untuk zaman ini, pendorong-pendorong utamanya  adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dua lapangan ini, karena sifatnya yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur potensial yang menimbulkan “revolusi” dalam peradaban manusia, dengan sendirinya dapat dianggap potensial pula dalam pensdidikan (Manan,1990:24).          

  Kebudayaan disampaikan oleh satu generasi ke generasi berikutnya serta dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Dari perspektif generasi muda, kebudayaan dipelajari oleh generasi muda dari generasi-generasi sebelumnya. Jadi, ada proses penyampaian kebudayaan (transmision of culture) dan ada proses pemerolehan kebudayaan (the acquisition of culture). Satu generasi mengajarkan atau memindahkan kebudayaan dan generasi yang lain atau berikutnya belajar dan menerimanya. Penyampaian kebudayaan mencakup proses belajar dan mengajar, karena itulah pemahaman tentang hakikat kebudayaan sangat penting sekali artinya bagi orang-orang yang bergerak dalam dunia pendidikan khususnya dan orang-orang yang terlibat dalam pembuat kebijaksanaan pendidikan pada umumnya.        

    Hubungan Antara Kebudayaan dan Pendidikan          

 Pendidikan, baik yang bersifat formal, informal, maupuan nonforal mendapat pengaruh dari kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Di sekolah, para siswa menerima warisan budaya yang telah dipersiapkan dan dirancang dalam  kurikulum. Dalam lingkungan keluarga, anak-anak mendapatkan pengalaman budaya langsung dari orang tua, adik kakak, sanak saudara, pengasuh, dan orang-orang yang dekat dengannya. Di lingkungan, dia mendapat pengaruh budaya dari masyarakat tempat tinggalnya. Bahkan berkat kemajuan teknologi  sekarang ini, anak-anak mendapatkan pengaruh budaya dari berbagai belahan  dunia melalui internet dan media global lainnya.Di sekolah, bukan berarti anak-anak menerima warisan budaya saja, tetapi menciptakan bentuk-bentuk budaya baru melalui anak-anak yang cerdas dan proaktif walaupun kualitas dan kuantitasnya lebih rendah jika dibandingkan dengan ketika budaya mempengaruhi pribadinya.       

     Dari kenyataan yang ada nampak bahwa kebudayaan perlu dikembangkan dengan cara pendidikan. Anak muda tidak akan matang secara budaya  tanpa ditunjukkan bagaimana menjadi dewasa.  Anak-anak juga menyadari bahwa teknik kedewasaan  mesti dipelajari dari orang dewasa. Masyarakat paham  bahwa penyampaian kebudayaan mereka tidak dibiarkan  terjadi secara kebetulan saja.          

  Sebagai salah satu sektor dalam jaringan besar kebudayaan, pendidikan beraksi terhadap peristiwa-peristiwa di bagian-bagian lain kebudayaan dan pada kesempatannya mempengaruhi peristiwa-peristiwa itu sendiri. Kebudyaan yang maju memicu pendidikan untuk menghasilkan spesialisasi pengetahuan dan kebudayaan yang tinggi. Akibatnya siswa mesti belajar lebih banyak, baik untuk menguasai keahliannya dan untuk memahami kebudayaan sebagai suatu keseluruhan           

 Untuk menjamin bahwa pendidikan akan mencapai tujuan-tujan yang diakui, diperlukan antropolog untuk mengatakan dimana pertentangan yang telah diinternalisasikan dari kebudayaan yang berlawanan dengan usaha-usaha guru. Karena tugas utama pendidik adalah untuk mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, pendidikan pada dasarnya bersifat konservatif. Namun sejauh pendidikan bertugas menyiapkan pemuda-pemuda untuk menyesuaikan diri kepada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan di luar kebudayaan, pendidikan telah merintis jalan untuk perubahan kebudayaan. Dapatkah pendidikan melakukan lebih dari itu? Dapatkah pendidikan melatih generasi yang akan datang tidak hanya dalam menyesuaikan diri kepada keadaan sekarang tetapi juga memulai perubahan tertentu pada kebudayaan? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu harus memperhatikan kekuatan-kekuatan  yang ada dalam kebudayaan yang berpengaruh terhadap menjadikan sekolah sebagai ujung tombak perubahan budaya mesti mempertimbangkan kekuatan-kekuatan yang menentang sekolah. 

Tiga Pandangan Tentang Kebudayaan yang  Terkait dengan Pendidikan        

    Jika akan digunakan penemuan antropologi  untuk kepentingan pendidikan, maka harus diajukan dulu suatu pertanyaan  pokok. Jenis realita apakah yang dimiliki oleh kebudayaan? Pertanyaan ini dijawab dengan tiga cara:

  1. Menurut pandangan superorganis, kebudayaan adalah  realitas super dan ada di atas dan di luar pendukung individunya dan kebudayaan punya hukum-hukumnya sendiri.
  2. Dalam pandangan konseptualis, kebudayaan bukanlah suatu entitas sama sekali, tetapi sebuah konsep yang digunakan  antropolog untuk menghimpun/meunifikasikan  serangkaian fakta-fakta yang terpisah-pisah.
  3. Dalam pandangan para realis, kebudayaan adalah kedua-duanya, yaitu sebuah konsep dan sebuah entitas empiris. Kebudayaan adalah sebuah konsep sebab ia bangunan dasar dari ilmu antropologi. Kebudayaan merupakan entitas empiris sebab konsep ini menunjukkan cara sebenarnya fenomena-fenomena tertentu diorganisasikan.                                                                                                                                                                                                          

Pandangan Superorganik tentang Kebudayaan

Pandangan superorganik tentang kebudayaan adalah:

1.      Inti pandangan superorganik adalah  bahwa kebudayaan merupakan sebuah kenyataan sui generis, karena itu mesti dijelaskan  dengan hukum-hukumnya sendiri. Meskipun adalah benar bahwa faktor-faktor tertentu – teknologi dan ekonomi umpamanya – mungkin menjadi sumber utama pertumbuhan kebudayaan, tetapi itu tidak berarti bahwa kebudayaan dapat direduksi menjadi teknologi dan ekonomi. Menurut Emile Durkheim (1961), kebudayaan terdiri dari fakta-fakta sosial dan representasi kolektif  yaitu cara berfikir, bertindak, dan merasa yang bersifat independen dan berada di luar individu.

2.      Menurut pandangan superorganik  prilaku manusia ditentukan secara budaya. Anggaplah bahwa individu memungkinkan adanya  kebudayaan (karena supaya ada, kebudayaan harus punya pendukung), namun itu tidak berarti bahwa individu menjadi sebab prilakunya sendiri seperti halnya pelaku sebuah sandiwara (tanpa sebuah pelaku sebuah sandiwara hanya akan merupakan sebuah skrip) memutuskan apa yang harus mereka pertontontokan. Kebudayaan mengontrol kehidupan anggotanya sebagaimana halnya sebuah sandiwara mengontrol kata-kata dan perbuatan aktor-aktor.  

Pandangan Superorganik dan Pendidikan           

 Pandangan superorganik mempunyai tiga implikasi terhadap pendidikan:

1.      Pendidikan ialah sebuah proses melalui mana  kebudayaan mengontrol  orang dan membentuknya sesuai dengan tujuan kebudayaan. Menurut L. White (1949):  Pendidikan merupakan alat yang digunakan  masyarakat melaksanakan kegiatannya sendiri dalam mengejar tujuannya. Demikianlah selama masa damai, masyarakat didik untuk damai, tetapi bila bangsa sedang berperang, masyarakat mendidik anggotanya untuk perang…. Bukan masyarakat yang mengontrol kebudayaan  melalui pendidikan; malah sebaliknya, pendidikan formal dan informal, adalah proses membawa tiap-tiap generasi baru ke bawah pengontrolan sistem budaya.             Untuk jelasnya, kebijakan pendidikan ditentukan oleh individu-individu,  tetapi individu-individu hanya alat melalui mana kekuatan-kekuatan budaya  mencapai tujuannya.  

2.      Lebih jauh, jika kebudayaan menentukan prilaku anggota-anggotanya kurikulum mesti dikembangkan atas kajian langsung dari keadaan kebudayaan  sekarang dan masa depan. Kurikulum mesti meliputi gagasan-gagasan, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan yang memungkinkan individu-individu menjadi pendukung yang paling efektif dari kekuatan-kekuatan budayanya.

3.      Pandangan superorganik juga berimplikasi pada pengawasan pendidikan  yang ketat dari pemerintah untuk menjamin bahwa guru-guru menanamkan  dalam diri generasi muda gagasan-gagasan, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan yang perlu bagi kelanjutan kebudayaan.

 Kritik terhadap Pandangan Superorganik

  1. Menurut F. Boas (1940) mengatakan bahwa kebudayaan  tidak bergerak sendiri tetapi merupakan ciptaan individu-individu yang hidup bersama. Kebudayaan bukan sebuah entitas yang mistis.
  2. Pandangan superorganik boleh dikritik karena memisahkan kebudayaan  dari manusia yang membangunnya.
  3. Orang juga bisa berkeberatan bahwa individu pada satu pihak, dan kebudayaan dilihat sebagai superorganik pada pihak lain, tidak bisa dibandingkan, dan karena itu, kemudian tidak bisa berinteraksi. Karena dengan cara bagaimanakah secara empiris dapat ditentukan bahwa realitas superorganik masuk ke dalam kehidupan seseorang dan membentuk prilakunya.
  4. Keberatan utama adalah bahwa walaupun kebudayaan menentukan banyak dari bentuk dan isi dari prilaku individu, kebudayaan tidak menentukan prilaku secara keseluruhan.
  5. Tidak dapat disangsikan, bahwa kebudayaan adalah superorganis dalam arti bahwa kebudayaan berumur panjang dan sebagian besar bertanggung jawab dalam membentuk prilaku manusia. Tetapi kebudayaan bukan sebuah  satuan yang independen, punya sebab sendiri,  dan punya arah sendiri. 

Pandangan Kaum Konseptualis tentang Kebudayaan         

 Umumnya antropolog Amerika menganut apa yang dinamakan  pandangan konseptualis tentang kebudayaan. Mereka mengatakan bahwa kebudayaan adalah  konsep atau konstruk seorang antropolog. Apa yang diamati orang tidak pernah kebudayaan seperti itu saja tetapi banyak bentuk-bentuk prilaku yang dipelajari dan dipakai bersama dengan benda-benda hasil produksi mereka. Dari sini pikiran mengenai kebudayaan diabstraksikan.            Menurut kaum konseptualis, pada akhirnya semua kebudayaan mesti diterangkan secara sosial psikologis. Dalam kata-kata R. Linton (1936), “kebudayaan ada hanya dalam fikiran individu-individu yang membentuk suatu masyarakat”. 

Pandangan Kaum Konseptualis tentang Pendidikan

            Karena mereka memandang kebudayaan sebagai kualitas prilaku manusia dan bukan entitas yang berdiri sendiri, para pengikut konseptualis setuju dengan pandangan bahwa anak-anak  harus mempelajari warisan budaya sesuai dengan perhatiannya. Anak-anak harus membangun gambaranya  sendiri tentang kebudayaan berdasarkan pengalamannya sendiri asal dia mengetes pengalaman belajar dengan pengalaman belajar orang lain dan asal saja dia mencapai  suatu gambaran yang objektif tentang kebudayaan.

 Pandangan Golongan Realis tentang Kebudayaan      

      David Bidney (1959) mempertahankan bahwa kebudayaan adalah sebuah konsep dan sebuah realitas.  Para realis dan konseptualis setuju untuk menolak determinisme budaya yang penuh. Meskipun peristiwa-peristiwa budaya di masa lalu dan sekarang membatasi apa yang dapat dilakukan oleh anggota satu budaya pada waktu-waktu tertentu, namun demikian, kata Kluckhohn (1959), kebudayaan tidak mengikuti logika yang kaku dari dirinya sendiri. Ada waktu-waktu  dimana suatu masyarakat menentukan nasibnya sendiri.            Juga sebab-sebab langsung dari perubahan sosial adalah ketidaksesuaian individu dengan budaya yang ada. Pada waktu ketidakpuasan meluas beberapa individu yang kreatif dapat menciptakan sebuah pola budaya baru, yang dengan cepat akan disetujui oleh yang lain. Dengan demikian,  asal dari perubahan sosial adalah ketegangan dan ketidakpuasan yang dirasakan oleh individu-individu tertentu. Bilamana ketidakamanan  cukup kuat dan meluas, pola baru akan mengecambah pada beberapa individu yang kreatif yang secara perlahan-lahan ditiru oleh seluruh anggota masyarakat. 

Pandangan Golongan Realis dan Pendidikan

Kaum realis menghendaki sistem pendidikan yang akan melatih individu-individu untuk menimbang dan mengubah kebudayaan mereka berdasarkan nilai-nilai dasar mereka. Banyak pendidik tradisional ingin mencapai tujuan ini dengan mendidik generasi muda tentang apa yang dianggap kebenaran dan nilai yang permanen, dengan menggunakan nilai-nilai ini generasi muda dapat mengatakan perubahan sosial apa yang harus mereka bantu, hindari, atau gerakkan.

 II.           KEBUDAYAAN DAN KEPRIBADIAN

Keterpaduan Kebudayaan dan Kepribadian

Keterpaduan antara kebudayaan dan kepribadian pada  hakikatnya dapat dilihat dari peran masing-masingnya terhadap seseorang. Kita tidak dapat memahami dangan baik prilaku individu tanpa mempertimbangkan latar dan komponen budaya. Sebaliknya kita juga tidak dapat memahami institusi  budaya tanpa adanya pengetahuan tentang individu-individu yang turut serta di dalamnya.

            Pengkajain kepribadian dan kebudayaan bermula dari psikoanalisis yang mengarahkan perhatian antropologi pada tiga faktor penting. Ketiga faktor penting yang dimaksud adalah 1) kesan mendalam yang ditinggalkan pada masa kanak-kanak pada struktur kepribadian orang dewasa, 2) status orang tua dan guru sebagai agen budaya, dan 3) kenyataan bahwa proses enkulturasi merupakan faktor utama pembentuk kepribadian (Manan,1988:41).

            Gabungan dari antropologi dan psikoanalisis memunculkan pernyataan bahwa  metode pengasuhan anak dalam kebudayaan tertentu akan mempengaruhi atau membentuk struktur pokok kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai pokok kebudayaan. Umumnya orang tua tidak menyadarinya bahwa metode yang ditetapakan dan mengasuh anak sebenarnya mengarahkan anak tersebut untuk berprilaku menurut nilai-nilai kebudayaan dalam kelompoknya.

            Walaupun pengalaman pada masa kanak-kanak mungkin sebagai peletak dasar kepribadian orang dewasa, pengalaman tersebut tidak membentuk kepribadian secara keseluruhan. Seperti yang diungkapkan psikoanalisis, anak berkembang aman dan penuh penyesuaian pada saat orang tuanya mengasuhnya penuh kasih sayang dan dalam batas-batas yang diizinkan, tetapi anak hanya menerima dasar-dasar bagi orang dewasa yang penuh penyesuaian. Tetapi berubahnya daya penyesuaian anak bergantung pada pengalaman masa depannya.

            Menurut Manan (1989:42) dalam kajian terhadap kebudayaan dan kepribadian, ada tiga pendekatan tradisional yang digunakan. Ketiga pendekatan tersebut adalah 1) pendekatan konfigurasi, 2) pendekatan rata-rata, dan 3) pendekatan sosialisai.

            Bennedict (1934) mengatakan bahwa konfigurasi (bentuk atau wujud) dasar sebuah kebudayaan dapat dikorelasikan dengan tipe kepribadian tertentu. Karena itu, pendekatan ini mempengaruhi pengambilan, pertumbuhan, dan perubahan banyak elemen yang berada dalam satu kebudayaan. Ia mendalihkan satu kepribadian untuk tiap kebudayaan.

            Kardiner (1939) menganggap bahwa kepribadian sebagai dasar bukan sebagai tipe psikologis yang dicocokkan dengan nilai-nilai dominan kebudayaan, melainkan dibangun di atas disposisi bawah sadar tertentu yang dibentuk oleh institusi pertama kebudayaan, seperti cara pengasuh anak organisasi keluarga. Disposisi ini tetap selama hidup dan diproyeksikan kepada orang dan situasi lain. Disposisi ini juga diproyeksikan ke dalam institusi-institusi kebudayaan tingkat kedua, seperti seni, hukum, pemerintah, dsb.

            Menurut Reisman dalam Manan (1989:44) mengemukakan karakter tentang individu bahwa kepribadian orang dewasa ditentukan oleh pola sosialisasi sewaktu masa kanak-kanak dan remaja yang mencerminkan tuntutan kebudayaan. Hal ini bisa terlihat dalam berbagai masyarakat ada kecendrungan anak untuk tidak menginternalisasikan nilai-nilai  orang tuanya secara kuat melainkan mengambil standar-standar dari teman sebayanya.

            Suatu aktivitas budaya tidak hanya mencerminkan suatu motif budaya yang telah ditanamkan, tetapi mungkin juga mewujudkan motif-motif subjektif. Satu atau beberapa motif mungkin bisa menggerakkan beberapa kegiatan yang secara budaya diperbolehkan. Artinya, prilaku dalam suatu peran tidak hanya didorong oleh tuntutan peran itu sendiri, tetapi mungkin juga oleh serangkaian motif. Jadi kepribadian sesorang juga didasari oleh motif-motifnya.

            Sejauh mana tipe kepribadian mempengaruhi perkembangan kebudayaan atau sebaliknya sejauh mana kebudayaan mempengaruhi kepribadian, seperti menerima atau menolak inovasi? Seorang yang sewaktu kanak-kanak dididik dengan sangat keras mungkin akan menolak perubahan ke arah yang tidak ditentukan dalam kebudayaan, tetapi mungkin menerima perubhan tertentu yang menurut kebudayaan adalah wajar. Oleh sebab itu, kita hendak memahami efek perubahan kebudayaan terhadap kepribadian, termasuk perubahan yang mungkin diperkenalkan oleh pendidik. Artinya, kita hendaklah mengetahui sejauh mana belajar di masa depan dapat mengubah kepribadian dan sejauh mana kepribadian telah terbentuk sebelumnya.

 III.    TRANSMISI BUDAYA DAN PERKEMBANGAN INSTITUSI   PENDIDIKAN                           

 Sebelum menjelaskan transimisi budaya dan perkembangan institusi pendidikan, maka akan lebih baik terlebih dahulu dijelaskan tentang wujud kebudayaan. Koentjaraningrat dalam Imran Manan (1989: 26) mengemukakan tiga wujud kebudayaan, yaitu :

a.       Wujud kompleks ide-ide

Wujud ini ada dalam pikiran anggota suatu masyarakat atau telah dituangkan dalam berbagai media, maka akan ditemui dalam berbagai media cetak atau media elektronik. Dalam masyarakat, wujud ideal kebudayaan ini dinamakan adat atau tata kelakuan. Kebudayaan ideal ini berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud ideal ini berbentuk nilai, hukum dan peraturan-peraturan.

b.      Wujud kompleks aktivitas kelakuan berpola

Wujud ini adalah tingkah laku nyata yang berpola yang dapat diamati dalam aktivitas-aktivitas anggota-anggota masyarakat yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul berdasarkan tuntutan nilai, norma, peraturan atau adat istiadat tertentu. Kelakuan berpola ini dinamakan sistem sosial yang secara konkrit dapat diamati, didokumentasi, dan difilmkan

c.       Wujud benda-benda hasil karya manusia

Wujud ini berupa hasil karya anggota-anggota suatu masyarakat dan semua benda-benda yang mempunyai makna dalam kehidupan suatu kelompok atau suatu masyarakat.

 Transmisi Budaya dan Pendidikan

Tranmisi budaya adalah penyampaian kebudayaan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Dalam penyampaian ini muncul beberapa istilah yaitu:

1.      Enkultasi, menurut Heskovist dalam Manan (1989:30) enkulturasi adalah proses perolehan kompetensi budaya untuk hidup sebagai anggota kelompok. Sedangkan enkulturasi menurut Hansen dan Gillin dalam (Manan,1989:30) adalah proses perolehan keterampilan bertingkah laku, pengetahuan tentang standar-standar budaya, dan kode-kode perlambangan seperti bahasa dan seni, motivasi yang didukung oleh kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan menanggapi ideoligi dan sikap-sikap. Jadi, enkulturasi adalah proses ketika individu memilih nilai-nilai yang dianggap baik dan pantas untuk hidup bermasyarakat, sehingga dapat dipakai sebagai pedoman bertindak.

2.      Sosialisasi, Sujarwa (2005:9) mengatakan sosialisasi adalah proses penyesuaian diri individu ke dalam kehidupan kelompok dimana individu tersebut berada, sehingga kehadirannya dapat diterima oleh anggota kelompok lain.

3.      Internalisasi, menurut Surjawa (2005:19) internalisasi adalah suatu proses dari berbagai pengetahuan yang berada di luar dari individu masuk menjadi bagian dari diri individu.

4.      Pendidikan, Hansen dalam Manan (1989:31) mengatakan pendidikan adalah usaha yang disengaja dan bersifat sistematif untuk menyampaikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan, kebiasaan berpikir, dan bertingkah laku yang dituntut harus dimiliki oleh pelajar.

5.      Persekolahan, masih menurut Hansen, persekolahan adalah pendidikan yang dilembagakan.

 Perkembangan Institusi Pendidikan

Perkembangan persekolahan tergantung kepada faktor-faktor, antara lain kemampuan suatu masyarakat untuk membiayai sistem persekolahan, kemungkinan orang tua membebaskan anak-anaknya dari pekerjaan produktif menolong orang tua, perhatikan dari kelompok-kelompok tertentu dalam mengawasi penguasaan pengetahuan dari ketarampilan tertentu dan dalam memberi kesempatan kepada generasi muda menguasainya untuk menjamin kesinambungan masyarakat dan kelestarian  pengetahuan.

Kebudayaan di dalam suatu masyarakat atau bangsa memiliki arti dan fungsi tersendiri bagi anggotanya, antara lain:

1)      Untuk memenuhi kebutuhan pokok tertentu manusia.

2)      Memproduksi dan mendistribusikan barang-barang dan jasa.

3)      Menjamin kelestarian biologis .

4)      Dapat menciptakan suasana tertib dan memberikan motivasi kepada para anggotanya untuk bertahan hidup.

 IV.     PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA:  MODERNISASI DAN PEMBANGUNAN 

Perubahan Sosial Budaya  

   Faktor pendorong terjadinya perubahan sosial ada yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan ada pula yang di luar masyarakat, ada yang sadar dan ada pula yang tidak sadar. Menurut Murdock (1965) berbagai fenomena yang menjadi faktor penyebab timbulnya perubahan sosial budaya adalah:

         Petumbuhan atau pengurangan jumlah penduduk

         Perubahan lingkungan geografis

         Perpindahan ke lingkungan baru

         Kontak dengan orang yang berlainan budaya

         Malapetaka alam dan sosial seperti, banjir, gagal panen, perang, dsb.

         Kelahiran atau kematian seorang pemimpin

         Penemuan (invention)

Sistem sosial budaya menurut Spindler (1977) dibentuk oleh empat komponen yang berinteraksi sosial, lingkungan dan kebudayaan sendiri. Kontak langsung antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain akan menimbulkan perubahan pada keduanya. Perubahan dengan cara ini dinamakan akulturasi. Kontak budaya ini telah menyebabkan terdapatnya berbagai persamaan diantara berbagai kebudayaan. Berhubungan erat dengan akultrasi ini adalah, difusi ini tidak memerlukan kontak langsung tapi cukup dengan saluran komunikasi yang beragam menjadi perantara penyebaran gagasan-gagasan dari berbagai sumber.

 Modernisasi dan Pembangunan

Perubahan sosial setelah Perang Dunai Kedua didominasi oleh kedua konsep yaitu modernisasi dan pembangunan. Moderinasi dimulai dari zaman renaissance yang hakikat dari zaman ini adalah pengakuan bagi manusia untuk lebih bebas mengekpresikan kebutuhan-kebutuhannya baik di bidang intelektual, politik,  industri, dan agama yang kesemuanya membawa kemajuan bagi manusia itu sendiri.

Hasil akhir dari suatu pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan sosial dimana mayoritas penduduk hidup layak, cukup sandang pangan, pendidikan dan hiburan. Dinamika kehidupan yang berubah akan membawa dampak secara psikologis bagi penduduk. Sikap individualistis, kurangnya rasa empati terlahir dari sikap hidup yang mandiri. Proses hidup yang simultan dengan berbagai aspek yang berubah inilah yang disebut modernisasi.

Kalau kita cermati ciri-ciri dari masyarakat tradiosional yang telah berubah ke masyarakat modern, dalam hal pembangunan ekonomi lebih menitik beratkan pada bidang pelayanan dan teknologi tinggi, baik itu di bidang keuangan, pelayanan profesi, dan kemanusian (kesehatan, pendidikan, asuransi). Hal ini bisa kita lihat dari kemudahan-kemudahan layanan bagi masyarakat maju, akses komunikasi yang lancar menandakan kemajuan ini. Adapun atribut-atribut dari kepribadian orang   modern itu adalah:

1.      Terbuka terhadap pengalaman dan cara-cara baru.

2.      Siap untuk mengalami perubahan-perubahan.

3.      Sadar akan keragaman sikap dan pendapat disekitarnya.

4.      Mengetahui dunia yang luas.

5.      Lebih berorientasi kepada masa sekarang dan masa depan.

6.      Menyukai ketarampilan-keterampilan teknis

7.      Sadar dan menghargai harkat manusia.

8.      Berhasrat memajukan pendidikan dan pekerjaan.         

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    V.        NEGARA, POLITIK, DAN PENDIDIKAN 

N e g a r a

Negara adalah organisasi yang didalamnya ada rakyat, wilayah yang permanen, dan pemerintah yang berdaulat (baik ke dalam maupun keluar). Dalam arti luas, negara merupakan kasatuan sosial (masyarakat) yang diatur secara konstitusional untuk mewujudkan kepentingan  bersama. Ada beberapa teori yang menerangkan tentang terbentuknya  suatu negara, yaitu:

  1. Teori hukum alam. Pemikiran pada masa Plato bahwa manusia adalah  zoon politicon. Dari hakikat manusia seperti ini, terbentuklah berturut-turut: keluarga → masyarakat → negara.

2.     Teori ketuhanan : (Islam + Kristen) → segala sesuatu           dalah ciptaan   tuhan. 3.         Teori perjanjian (Thomas Hobbes, Jhon Locke, Montesquieu): negara terjadi karena adanya perjanjian masyarakat. Semua warga negara mengikat   diri  dalam suatu perjanjian bersama untuk mendirikan suatu organisasi  yang bisa melindungi dan menjamin kelangsungan hidup bersama.

Proses terbentuknya negara di zaman modern dapat berupa: 1) Occopati (pendudukan), 2) Fusi (peleburan), 3) Cessie (penyerahan), 4) Anexatie (pencaplokan), 5) Proclamation (proklamasi), dan 6) Seperatise (pemisahan). Menurut ahli kenegaraan Openhaimer dan Lauterpacht, suatu negara harus memenuhi syarat-syarat berupa: rakyat yang bersatu, daerah atau wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain.

Konvensi Montivideo pada tahun 1933 menyebutkan bahwa unsur-unsur berdirinya suatu negara antara lain: rakyat (penghuni), wilayah yang permanen, penguasa yang berdaulat, kesanggupan untuk berhubungan dengan negara-negara lain, dan pengakuan deklaratif.

Dari dua pendapat di atas, unsur rakyat, wilayah dan pemerintah yang berdaulat merupakan unsur deklaratif yang bersifat romalitas belaka demi memperlancar sekaligus memenuhi unsur tata aturan pergaulan internasional.

 P o l i t i k

Kata “politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani politica, yang akar katanya adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara dan teia, berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Politics dan policy memiliki hubungan erat dan timbal balik. Politics memberikan asas, jalan, arah, dan medannya, sedangkan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan, dan arah tersebut sebaik-baiknya.

Dalam bahasa inggris, politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Sedangkan policy yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kebijaksaan, adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan yang dianggap dapat lebih menjamin terlaksanannya suatu usaha, cita-cita atau tujuan yang dikehendaki. Pengambilan kebijaksanaan biasanya dilakukan oleh seorang pemimpin.

Politik secara umum menyangkut proses penentuan tujuan negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan, pembagian, maupun alokasi sumber-sumber yang ada.

Perlu diingat bahwa penentuan kebijakan umum, pangaturan, pembagian, maupun alokasi sumber-sumber yang ada memerlukan kekuasaan dan wewenang (authority). Kekuasaan dan wewenang ini memainkan peran yang sangat penting dalam pembinaan kerjasama dan penyelesaian konflik yang mungkin muncul dalam proses pencapaian tujuan. Dengan demikian, politik memberikan hal-hal yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan umum, dan distribusi.

 P e n d i d i k a n

Apapun teori pembangunan yang dipakai dan apapun ideologi nasional suatu masyarakat, karena pembangunan direncanakan oleh manusia dan dilaksanakan oleh manusia, maka kualitas manusia menyangkut nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan. Kualitas manusia modern tercermin dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan jalan yang tersedia untuk meningkatkan kualitas manusia adalah melalui pendidikan.

Pengembangan pendidikan bertalian erat dengan rencana dan kemauan pemerintah, kemampuan ekonomi, dan penghargaan masyarakat terhadap ilmu dan teknologi. Dengan kata lain, terdapat saling hubungan antara berbagai unsur budaya dan institusi sosial dalam proses pengembangan nasional suatu masyarakat. Karena itu, pembangunan pendidikan selalu dilaksanakan sebagai bagian dari suatu pembangunan nasional yang dilaksanakan tahap demi tahap.

Untuk membicarakan dan menghubungkan pendidikan dengan masalah-masalah pembangunan serta pengunaan dari bermacam-macam teori perubahan sosial budaya yang dikemukakan dalam bab-bab terdahulu dan kaitannya dengan fungsi-fungsi dan masalah-masalah pendidikan yang kongkrit, maka teori Rostow (1965) yang menyangkut fungsi-fungsi masa persiapan lepas landas, akan dikaitkan dengan masalah-masalah pembangunan pendidikan di Indonesia.

 VI.     PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT MODERN DAN    SEDERHANA 

Kehidupan pendidikan kelompok masyarakat modern dan kelompok masyarakat sederhana, keduannya merupakan perjalanan panjang dalam hidup dan kehidupan sejarah manusia dalam membangun tren kehidupan sesuai dengan pengaruh zaman.

 Pendidikan Sederhana

Robert Redfiel dalam (Imran,1989:52) berpandangan bahwa masyarakat sederhana yang dikenal sebagai “folk society” sebagai bentuk ideal yang kira-kira mendekati yaitu masyarakat nonurban (termasuk orang Eskimo dan petani Mexico). Masyarakat ini adalah komunitas masyarakat yang kecil dan terasing, tidak mengenal huruf atau setengah melek huruf, homogen, sangat terintegrasi, bersifat konsensus dengan solidaritas kelompok yang tinggi dan pembagian kerja yang sederhana. Banyak perilakunya yang bersifat kekeluargaan, tradisional, dan relatif statis. Anggota-anggotanya cenderung bersifat “inward looking”.Terasing di pulau Sumatera memiliki karakter yang sama dengan orang Eskimo dan petani Mexico.

Zaman pencerahan dalam masyarakat sederhana merupakan cermin kehidupan kelompok masyarakat yang bersifat ilmiah. Mereka berkembang sejalan dengan kebutuhan hidup dan kehidupan yang dihadapi dan tanpa adanya inters dari pihak luar atau pihak asing. Berdasarkan  sudut pandang antripologi yaitu semakin beragam masyarakat yang dipelajari semakin ditemukan elemen-elemen yang sama dari suatu kelompok dengan kelompok lain yang ada.

Masyarakat sederhana sangat homogen, sebagian besar anggota-anggotanya memiliki pengetahuan dan perhatian yang sama dan biasa dengan pemikiran, sikap-sikap, dan aktivitas dari seluruh anggota masyarakat. Mereka memiliki rasa kebersamaan, senasib dan sepenanggunan, cara hidupnya dapat dikategorikan bagai tubuh yang apabila salah satu merasa sakit, maka yang lain ikut sakit pula.

Dari sudut pandang pendidikan bagi anak-anak, masyarakat sederhana menjadikan keluarga, kerabat, dan upacara-upacara adat sebagai agen pendidikan. Peran ibu sangat berarti dalam membentuk budi pekerti, membangun rasa hormat, dan saling menghargai. Nenek berperan dalam mengenal sanak famili dari keluarga yang mungkin sudah jauh dari keturunan. Upacara-upacara ada istiadat dijunjung tinggi dalam meneguhkan keyakinan, sehingga dapat dikatakan kehidupan kemasyarakat pada masyarakat sederhana banyak ditemukan kebahagiaan dan kenyamanan hidup.

 Pendidikan Modern

Masyarakat modern atau masyarakat industri dalam hidup dan kehidupannya memiliki permasalahan yang sangat kompleks, terspesialisasi, kepadatan penduduk, cenderung individualis, sosialisme kurang, dan banyak permasalahan lain. Kadang satu permasalahan memberi imbas terhadap permasalahan yang lain seperti kepadatan penduduk menimbulkan permasalahan lingkungan, permasalahan lingkungan berimbas pada permasalahan kesehatan dan lain-lain.

Jules Hendry (dalam Imran,1989:53) masyarakat industri modern bertumpu pada adanya pengetahuan berkembang dalam suatu masyarakat, ketidaktahuan cenderung meningkat pada individu-individu, karena mereka cenderung mengetahui lebih sedikit dari jumlah informasi yang ada. Hal demikian sangat dirasakan bagi guru-guru yang diharapkan mengajar untuk berbagai mata pelajaran.

Kompleksitas yang dari kebudayaan modern membuat mereka kurang sensitif dari dampak emosi massa bila dibandingkan dengan masyarakat sederhana. Suatu kepercayaan masyarakat modern yang paling fundamental dan punya efek paling jauh adalah kepercayaan akan kemajuan (progress). Bagi orang modern masa depan dengan sedikit pembatasan, bersifat terbuka. Dia percaya bahwa kondisi kemanusiaan, fisik, dan spritual melalui penggunaan sains terhadap alam dan hubungan kemanusiaan, dapat diperbaiki hampir-hampir tidak terbatas. Hal ini sangat berbeda bagi masyarakat sederhana yang memandang sesuatu tanpa adanya pengetahuan.

Terbentuknya masyarakat modern yang merupakan mata rantai panjang dari masyarakat sederhana berangkat dari empat faktor yaitu: 1) perkembangan agama yang lembaga 2) pertumbuhan dari dalam dan penaklukan dari luar akibat benturan logika, 3) pembagian kerja yang menuntut teknik khusus, dan 4) konflik dalam masyarakat yang mengancam nilai-nilai tradisional dan kepercayaan-kepercayaan yang menjurus kepada penggunaan pendidikan untuk menguatkan penerimaan warisan budaya.

Peran orang tua, kelurga, dan upacara-upacara dalam masyarakat sederhana dalam hal pendidikan terhadap anak-anak sangat kuat. Sehingga untuk segala hal yang terkait dengan pembentukan karakter dan anak-anak memperoleh pengetahuan secara langsung dari orang tua serta kaum kerabatnya.

Dalam hal ini tertentu seperti kuatnya rasa tanggung jawab anak-anak masyarakat sederhana lebih baik dan memiliki solidaritas yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat modern. Hal demikian telah disebabkan  karena karakter masyarakat modern. Hal demikian lebih bersifat homogen dan suka berkelompok. Sedangkan pada anak-anak modern memiliki kecenderungan hilangnya rasa tanggung jawab, serta rasa kebersamaan yang mulai hilang. Masyarakat modern cenderung individulistis, hilangnya peran orang tua dalam hal pendidikan, walau dalam hal tertentu seperti kesungguhan akan sesuatu lebih baik, hal ini lebih disebabkan oleh faktor kompetisi/persaingan hidup yang semakin ketat.

 VII.    LMU PENDIDIKAN DALAM  PERSPEKTIF  FILSAFAT 

Ilmu pendidikan atau pedagogik adalah ilmu yang membicarakan masalah-masalah umum pendidikan secara menyeluruh dan abstrak. Padagogik memerlukan landasan yang berasal sari filsafat atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dengan filsafat. Bila filsafat melahirkan  pemikiran yang teoritis mengenai pendidikan maka pedagogik memerlukan bantuan penyelesaian dari filsafat. Dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan ialah ilmu pendidikan yang bersendikan  filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan mengenai masalah pendidikan (Bernadib,1994:7).

 Konsep Filosofis Mengenai Pendidikan

Perkembangan dan perubahan dalam lapangan pendidikan menimbulkan tantangan agar pendidik mempunyai sikap tertentu yang telah bersendikan atas pendirian tertentu pula. Selanjutnya Bernadib (1994:24) mengatakan bahwa beberapa sikap mengenai pendidikan dapat dimuruskan sebagai berikut:

a.       Mengkehendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif.

Tujuan pendidikan yang telah diartikan sebagai rekontruksi pengalaman yang terus menurus. Pendidikan hendaklah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik untuk diterima saja, melainkan yang lebih penting dari pada itu adalah melatih kemampuan berfikir dengan memberikan stimulasi-stimulasi. Yang dimaksud dengan berfikir adalah penerapan cara-cara ilmiah seperti mengadakan analisa, mengadakan pertimbangan dan memilih di antara beberapa alternatif yang tersedia.

b.      Mengkehendaki pendidikan yang bersendi nilai-nilai yang tinggi dan hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaknya yang sampai kepada manusia, sivilisasi, dan telah teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada di dalam lingkungan ke dalam  jiwa anak didik. Ini berarti bahwa anak didik itu perlu dilatih agar mempunyai kemampuan obsorbsi yang tinggi

c.       Menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang menuntun manusia hingga dimengerti adanya menurut tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional. Aliran ini disebut esensialisme.

d.      Mengkehendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan dan teknologi. Dengan penyesuaian seperti ini anak didik akan tetap berada dalam suasana aman dan bebas.

 Pandangan Filsafat Tentang Pendidikan

Secara sederhana filsafat pendidikan adalah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan filsafat yang mendasari dan memberikan identitas (karakteristik) suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan adalah jiwa, roh, kepribadian sistem pendidikan nasional, karenanya sistem pendidikan nasional wajarlah di jiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila, citra, dan karsa bangsa kita, atau tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia tersimpul di bangsa kita, atau tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia tersimpul di dalam pembukaan UUD 1945, sebagai perwujudan nilai Pancasila. Pada giliran sistem pendidikan adalah sebagai sistem, bertumpu dan di jiwai oleh suatu keyakinan, pandangan, dan filosofis tertentu.

Filsafat menjadikan manusia berkembang, mempunyai pandangan hidup yang menyeluruh secara sistematis, maka hal yang semacam ini telah dituangkan dalam sistem pendidikan. Penuangan pemikiran ini dimuatkan dalam bentuk kurikulum. Dengan kurikulum itu sistem pengajaran dapat terarah dan lebih dapat mempermudah para pendidik dalam menyusun pengajaran yang akan diberikan pada perserta didik. Usaha berfilsafat adalah usaha berpandangan menyeluruh dan sistematis yang diharapkan manusia itu dapat menguasainya, yang demikian adalah melalui prosesi ilmu pengetahuan, melalui proses ini manusia menugaskan pikirannya untuk bekerja sesuai dengan aturan-aturan dan hukum yang ada. Pertanyaan dewasa ini bila dikaitkan pendidikan merupakan pengarah dan berusaha untuk memperbaharui pendidikan tersebut dengan melalui pikiran yang sistematis.

Ilmu pendidikan atau pedagogik ditegaskan sekali lagi adalah ilmu yang membicarakan masalah-masalah umum pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan mengenai masalah pendidikan. Filsafat mendasari berbagai pemikiran mengenai pendidikan, sedangkan logika memberikan dasar pemikiran mengenai pengembangan kecerdasan.

 VIII.        KEBUDAYAAN SEBAGAI ISI PENDIDIKAN 

Dari berbagai pengertian kebudayaan yang telah disebutkan, jelaslah bahwa ilmu (knowledge) merupakan unsur kebudayaan. Pendidikan dan kebudayaan adalah salah satu hubungan antara proses dan isi. Pendidikan sebagai proses pengoperan kebudayaan, memuaskan program aktifitasnya pada pengoperasian, pengembangan atau pembinaan ilmu dan research (penelitian).

Kurikulum atau secara sederhana kita sebut dalam dunia pendidikan adalah “jalan” terdekat untuk sampai pada tujuan dan isi pendidikan. Sebaiknya tanpa isi pendidikan, tanpa kurikulum tidak ada proses pendidikan dan pengajaran. Karena itu, kurikulum adalah bagian yang amat penting di dalam pendidikan.

Hubungan antara tujuan pendidikan ialah hubungan antara tujuan dan isi pendidikan. Suatu tujuan baru akan tercapai bila pendidikan tepat dan relevan. Kurikulum yang demikian bergantung kepada tujuan pendidikan, dan sangat mengejutkan bila kita akan mengetahui bahwa mempelajari kurikulum pada hakikatnya sama dengan mencapai tujuan pendidikan itu. Dalam kenyataannya, sedemikian erat hubungan antara tujuan pendidikan dan kurikulum sehingga dapat dikatakan bahwa kurikulum tak lain dari pada tujuan pendidikan atau nilai-nilai yang termaktub dalam bentuk yang luas.

Oleh karena itu kurikulum menyangkut masalah-masalah nilai, ilmu, teori, skill, praktek, pembinaan sikap mental, dan sebagainya. Ini berarti kurikulum harus mengandung isi pengalaman yang kaya dengan pengalaman-pengalaman yang bersifat membina kepribadian.

Meskipun pada dasarnya tujuan pendidikan yang pokok (ultimate goal) itu tetap, namun ini tidak berarti bahwa kurikulum itu harus tetap. Kurikulum justru harus tetap berkembang, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat untuk apa pendidikan diselenggarakan. Dengan demikian kurikulum bersifat progresif, berkembang maju, dinamis. Oleh karena itu, kita selalu mengadakan evaluasi dan revisi kurikulum.

Pendidikan sebagai proses pengoperan kebudayaan, pembinaan manusia dalam arti mendewasakan dan membudayakan manusia, hubungan pendidikan dan kebudayaan adalah hubungan antara aktivitas dengan isinya. Tak mungkin ada aktivitas (pendidikan) tanpa isi (kebudayaan).

Pendidikan tidak hanya proses pengoperan kebudayaan sebab hubungan pendidikan dengan kebudayaan juga hubungan kausalitas dan teologis sekaligus sebab akibat dan hubungan tujuan karena dengan adanya pendidikan manusia kebudayaan. Dan dengan proses pendidikan itu pula manusia menuju suatu tingkatan perkembangan kepribadian agar manusia kreatif dan produktif dalam menciptakan kebudayaan. Secara teknis juga tujuan pendidikan adalah membudayakan manusia atau membina manusia supaya berkebudayaan.

Pendidikan baik sebagai lembaga maupun sebagai aktivitas memusatkan peranannya kepada pengoperan kebudayaan. Pendidikan berfungsi sebagai agent of social-reproduction atau sebagai transmission of culture. Atau sering dalam perguruan tinggi  disebut sebagai center of culture, pusat pembinaan kebudayaan. Sesungguhnya fungsi pendidikan yang demikian mengoper kebudayaan masih mempunyai tujuan yang lebih utama, yaitu untuk membina kepribadian manusia agar lebih kreatif dan produktif yakni mampu menciptakan kebudayaan.

Hubungan manusia terdidik dengan fungsi kebudayaan adalah suatu manifestasi peranan, bahkan hasil pendidikan mempunyai fungsi rangkap untuk kebudayaan. Pertama,  menciptakan kebudayaan yang belum ada, melalui pembinaan manusia yang kreatif. Kedua, mengoperkan kebudayaan (yang sudah ada) kepada ke genarasi demi generasi dalam rangka proses sosialisasi pribadi manusia.

Sebenarnya pendidikan, langsung dan tidak langsung terutama berfungsi untuk pembinaan kebudayaan. Pendidikan berfungsi baik sebagai mempertahankan kebudayaan yang ada sebagai warisan sosial, maupun untuk membina pribadi manusia pada gilirannya untuk mencipta budaya baru.

Setelah kebudayaan terbina sedemikian kaya (teknologi, filsafat, seni, dan sebagainya) manusia membuka skop kebudayaan baru, yakni penelitian dan penjelajahan ruang angkasa. Manusia tetap sibuk dalam kerangka alamiah, alam semesta, yang lebih bersifat materil.

Dengan beberapa unsur kebudayaan, seperti seni sastra, musik, teknik, dan sebagainya manusia kagum dengan ciptaannya. Manusia menikmati hasil karya manusia sesamanya. Relasi ini amat bersifat “egosentris”, manusia centris dan paling jauh “ alamiah centris”. Realita ini sebenarnya pada hakikatnya belum menunjukkan manusia pada taraf ideal yang sesuai dengan martabat manusia yang mengandung potensi-potensi rohaniah, potensi-potensi transendental.

 IX.     SISTEM NILAI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA 

Dalam suatu kebudayaan terkandung nilai-nilai dan norma-norma sosial yang merupakan faktor pendorong bagi manusia untuk bertingkah laku dan mencapai kepuasan tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan satu sama lainnya walaupun keduanya dapat dibedakan. Nilai dikatakan sebagai ukuran sikap dan perasaan seseorang atau kelompok yang berhubungan dengan keadaan baik buruk, benar salah, atau suka tidak suka terhadap suatu objek baik material maupun nonmaterial.

Menurut Pelkman (Soekanto,1983:162), nilai-nilai mengandung tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek efektif, dan aspek konatif. Aspek kognitif dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam aspek deskriptif dan aspek legitimasi.

1.      Aspek Kognitif, aspek kognitif mencakup komponen-komponen rasional seperti:

a.       Aspek deskriptif

      Aspek deskriptif dari nilai merupakan penggambaran dari hal-hal yang ideal, yang dianuti secara nyata atau tidak nyata oleh pribadi dan kelompok yang menganut nilai tertentu. Aspek ini dapat memberikan pengarahan bagi pribadi atau kelompok. Fungsinya sebagai tolak ukur orientasi bagi penganutnya sehingga pribadi atau kelompok senantiasa berusaha untuk menyesuaikan diri dengan nilai tersebut.

b.      Aspek legitimasi

      Aspek legitimasi dari nilai merupakan jawaban terhadap pertanyaan mengapa pribadi atau kelompok mengahargai sesuatu. Di dalam kehidupan bersama sehari-hari, biasanya seseorang merasakan bahwa penghargaan terhadap sesuatu hal tertentu, sebagian bersifat intrinsik sedangkan untuk bagian lainnya didasarkan pada nilai-nilai lainnya. Dengan mengadakan legitimasi secara horizontal dan vertikal akan dapat disusun suatu jaringan, dimana nilai-nilai terletak pada ikatan-ikatan jaringan tersebut.

2.      Aspek afektif

      Aspek afektif mencakup komponen-komponen emosional. Aspek afektif ini berhubungan dengan tingkat harapan-harapan yang tersimpul di antara nilai-nilai yang  sifatnya potensial. Apabila aspek kognitif memberikan batas-batas, aspek afektif memberikan dorongan. Dorongan itu dapat berasal dari dalam maupun dari luar. Dorongan dari dalam contohnya adalah adanya harapan-harapan manusia untuk menjadi lebih maju atau lebih baik dari kehidupan sebelumnya.

3.      Aspek konatif

      Ruang lingkup dari aspek konatif adalah perilaku yang mau dilakukan oleh pribadi atau kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan yang berasal dari nilai-nilai tertentu. Pribadi atau kelompok mempergunakan sarana penunjang untuk merealisasikan nilai yang dianutnya. Aspek ini tentu juga tidak terlepas dari aspek kognitif maupun aspek afektif dari nilai-nilai.

Didalam kehidupan manusia, pergaulan hidup manusia ini sebenarnya menganut pasangan nilai-nilai. Sesuai dengan aspek-aspek rohani dan jasmani yang ada pada manusia, manusia dibimbing oleh pasangan nilai-nilai spiritualisme dan nilai-nilai materialisme. Apabila manusia hendak hidup secara damai dalam masyarakat, seyogyanya kedua nilai yang merupakan pasangan tadi diserasikan. Akan tetapi, kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa nilai-nilai materialisme mendapat tekanan yang lebih berat dari pada nilai-nilai spiritualisme.

Disamping itu, juga terdapat pasangan nilai-nilai konservatisme dan nilai inovatisme. Konservatisme disebut sebagai kekolotan. Inovatisme disebut sebagai pembaharuan. Kedua nilai ini harus berjalan serasi dan beriringan karena secara hakiki manusia juga memerlukan pembaharuan disamping mempertahankan nilai-nilai yang ada. Setakat ini, kedua nilai ini sudah mulai tidak serasi. Ada sebagian masyarakat yang lebih menonjolkan konservatisme dan ada sebagian yang menonjolkan nilai inovatisme.

 X.        HAKIKAT MANUSIA 

Telah banyak para ahli dari berbagai macam disiplin ilmu telah mengkaji tentang hakikat manusia dan mereka telah memberikan pendapatnya dalam banyak hal dan berbagai macam ragam, namun dari kesemuanya itu dapat disimpulkan bahwa manusia itu adalah:

A.    Makhluk individu, bahwa manusia sebagai makhluk individu mempunyai cirri-ciri atau kekhasan tersendiri. Karena itu, manusia disebut sebagai makhluk yang unik. Individualisme manusia itu menampilkan sifat-sifat karakteristik yang khas unik, tidak ada kembarannya dari struktur kepribadian. Jadi terdapat keabsahan mengenai variasi dan perbedaan alami pada  setiap pribadi manusia. Pendidikan diharapkan dapat memberikan bantuan agar peserta didik mampu menolong diri sendiri.

B.     Makhluk  sosial, bahwa manusia sebagai makhluk sosial mempunyai sifat sosialis yang menjadi dasar dan tujuan dari kehidupan manusia yang sewajarnya atau menjadi dasar dan tujuan setiap anak dan kelompoknya. Setiap manusia hidup dan ingin hidup terus menerus di dalam kelompoknya. Dengan bermacam-macam variasi, manusia terlibat dalam kehidupan sosial setiap waktu. Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia dimana tingkah laku individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki tingkah laku individu lainnya. Tugas pendidikan mengembangkan semua aspek sosial, sehingga manusia sebagai makhluk sosial mempu berperan dan mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat.

C.    Makhluk psikofisik, bahwa manusia merupakan  totalitas jasmani dan rohani, setiap bagian tubuh dan kegiatan organisme yang biologis sifatnya pasti mengabdikan diri kepada aktivitas psikis, juga sebaliknya. Karena itu totalitas psikofisik ini harus dijadikan titik awal dari pemahaman kita mengenal pribadi peserta didik dan pribadi pendidik, juga menjadi titik tolak bagi semua kegiatan mendidik.

D.    Makhluk monodualis, bahwa manusia sebagai makhluk monodualisme tidak dapat memisahkan antara jiwa dan raga sebagai satu kesatuan dalam perkembangannya. Pendidikan yang diberikan peserta didik diharapkan seimbang  antara aspek kognitif, efektif, dan psikomotorik. Melalui proses pendidikan peserta didik mendapatkan penglaman dan pengembangan kognitif, afektif, dan psikomomotorik. Upaya pendidikan adalah mengembangkan ketiga aspek tersebut secara harmonis sehingga manusia mampu memenuhi kebutuhannya.

E.     Makhluk bermoral, bahwa manusia yang normal pada intinya mampu mengambil keputusan susila dan mampu membedakan hal yang baik dan buruk. Selain itu juga mempu membedakan hal yang benar dan yang salah untuk kemudian mengarahkan hidupnya ke tujuan yang berarti sesuai dengan pilihan dan keputusan hati nurani dalam mempertimbangkan baik/buruk dan salah/benar.

F.     Makhluk berfikir/filosofis, bahwa ,manusia ini mempunyai akal dan budi. Akal digunakan untuk berfikir agar menjadi manusia yang berbudi. Manusia disebut juga dengan homo safiens yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan. Salah satu insting manusia selalu cenderung ingin mengetahui segala sesuatu di sekelilingnnya yang belum diketahuinya. Karena hasrat manusia itu untuk mengetahui sesuatu maka muncul ilmu filsafat. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu fhilos yang artinya gemar dan Sophia yang artinya suka berfikir secara mendalam untuk mencapai kebijaksanaan dan pengetahuan.

G.    Makhluk berketerampilan, bahwa manusia telah mempunyai bakat dan minat masing-masing dalam mengembangkan keterampilannya. Tugas pendidikan adalah mengembangkan keterampilan yang ada pada masing-masing anak manusia. Pendidikan dijadikan sarana untuk mengarahkan peserta didik untuk berkarya dan bertanggung jawab sendiri. Peserta didik dapat mengembangkan ide-idenya sendiri, meneliti, berdialog, dan berdiskusi dengan keinginannya.

H.    Makhluk religius, bahwa manusia sebagai makhluk tuhan sekaligus mengandung kemungkinan baik dan jahat , sesuai dengan manusia itu sendiri sebagai makhluk tuhan. Manusia mempunyai nafsu-nafsu baik maupun jahat. Pendidikan diperlukan agar nafsu yang berkembang adalah nafsu yang baik.

 XI.     HAKIKAT MASYARAKAT 

Manusia di dalam kehidupan membutuhkan orang lain untuk berinteraksi, pergaulan dengan manusia lainnya akan mendatangkan kepuasan jiwa. Seseorang yang terkurung dalam sebuah ruangan yang tertutup sehingga dia tidak dapat mendengarkan suara orang lain atau tidak melihat orang lain, maka akan terjadi gangguan dalam perkembangan jiwanya. Naluri manusia untuk hidup dengan masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi. Suatu kesatuan masyarakat dapat memiliki prasarana yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi (Koentjaraningrat,1996:120).

Masyarakat merupakan kesatuan manusia yang saling berinteraksi, yang mempunyai ikatan-ikatan, seperti: 1) interaksi antar warga, 2) adat-istiadat, norma-norma, hukum, serta aturan-aturan yang mengatur, 3) kontinuitas dalam waktu (berkesinambungan), dan 4) rasa identitas yang kuat. Dengan memperhatikan keempat ciri  khas di atas, maka devenisi masyarakat itu ialah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama”.

Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka dirumuskanlah norma-norma masyarakat. Mula-mula norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja, namun lama kelamaan norma tersebut dibuat secara sadar.

            Unsur- unsur masyarakat dapat berupa:

1.      Komunitas, suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi secara berkesinambungan sesuai dengan suatu sistem adat-istiadat, dan terikat oleh rasa identitas komunitas.

2.      Kategori sosial, yaitu kesatuan manusia yang terjadi karena adanya suatu cirri atau kompleks cir-ciri objektif yang dapat dikenakan pada para warganya.

3.      Golongan sosial, yaitu kesatuan manusia yang memiliki cirri tertentu yang dikenakan pihak luar kepadanya. Memiliki identitas sosial, terikat oleh suatu sistem nilai norma, atau adat-istiadat tertentu.

4.      Kelompok, yaitu suatu kelompok jauh memenuhi syarat sebagai suatu masyarakat karena memiliki sistem interaksi antar anggota, adapt-istiadat, dan sistem norma yang mengatur interaksi, adanya kesinambungan, dan adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota.

 XII.     PENDIDIKAN DAN NILAI-NILAI BUDAYA 

Konsep kebudayan dapat pula dipakai untuk mengkaji pendidikan karena pendidikan dalam arti luas adalah proses pembudayaan. Dalam arti praktis pendidikan dapat diartikan sebagai proses penyampaian kebudayaan, di dalamnya termasuk keterampilan, pengatahuan, sikap dan nilai-nilai, serta pola-pola perilaku tertentu. Dalam pernyataan itu terlihat bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah proses penyampaian kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya atau proses pembudayaan manusia.

Dari konsep kebudayaan yang disampaikan itu dapat dinilai bahwa moral termasuk bagian dari kebudayaan, yaitu standar tentang baik dan buruk, benar dan salah, yang semuanya dalam konsep yang lebih besar termasuk kedalam bidang nilai. Adanya konsep seni dalam defenisi tersebut mengandung pula pengertian keindahan dan keburukan, keduanya juga termasuk bidang nilai. Dengan demikian transmisi budaya berarti pula transmisi nilai-nilai. Dan dalam pengertian yang umum dapat dikatakan bahwa pendidikan mencakup penyampaian pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai.

Karena begitu pentingnya kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan, maka pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya tersebut sangatlah penting dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat.

Nilai budaya adalah konsepsi umum yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yan diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antara orang dengan lingkungan dan sesama manusia.

Sistem nilai budaya ini menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang manifestasi konkritnya terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya terbentuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.

 XIII.        KURIKULUM DAN GURU DALAM PERSPEKTIF BUDAYA 

Pendidikan terdiri dari beberapa komponen di antaranya adalah kurikulum dan guru. Komponen kurikulum dan guru merupakan dua faktor yang mempengaruhi terjadinya perbedaan budaya yang dianut oleh peserta didik. Apa yang akan dicapai di sekolah ditentukan oleh kurikulum sekolah itu sendiri. Oleh sebab itu, pengembangan kurikulum sangatlah penting. Setiap guru merupakan kunci utama dalam pelaksanaan kurikulum. Disamping itu, guru juga seorang pengembang kurikulum.

Konsep kurikulum yang berlaku di Indonesia dilihat dari defenisi kurikulum yang terdapat dalam undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 11, yang berbunyi “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.

Defenisi diatas menjadi pedoman bagi konsep kurikulum pada setiap jenis pendidikan. Dengan demikian kurikulum dipandang sebagai rencana dan pengaturan kegiatan pembelajaran yang berwujud dokumen tertulis dan sekaligus sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Perwujudan dari kedudukan dan fungsi kurikulum seperti itu di masing-masing jenis dan jenjang  lembaga pendidikan tidak dilengkapi dengan seperangkat kurikulum.

Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan perserta didik dan kesesuaian dengan lingkungan. Kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta kesenian, kesesuaian dengan jenis dan hubungan yang erat antara pendidikan dan kebudayaan tidak perlu disangsikan lagi. Bahkan kita berpendapat bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Sedangkan kebudayaan sekaligus menetapkan identitas atau kepribadian bangsa, dan menetapkan ritme pembangunan bangsa. Oleh karena sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan maka sekolah haruslah merupakan pusat kebudayaan.

Pelaksanaan pendidikan berlangsung dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Di antara ketiga lingkungan pendidikan itu sekolah memegang peranan penting dalam pelaksanaan program pendidikan akulturasi, karena sekolah merupakan suatu lembaga yang dipolakan secara sistematis, memiliki tujuan yang jelas, kegiatan yang teratur, terdapat tenaga khusus yang mengelolanya, serta didukung dengan sarana dan dana yang terencana.

Untuk mendukung fungsi tersebut sekolah hendaknya memiliki cirri-ciri khusus, yaitu dapat meningkatkan mutu pendidikan serta sebagai pusat kebudayaan. Di samping kepercayaan yang lain, kualitas guru akan menentukan berhasil tidaknya usaha ini. Untuk itu, peranan guru dalam menciptakan sekolah sebagai pusat budaya adalah :

  1. Guru harus mampu membelajarkan anak didik.
  2. Guru menciptakan suasana demokratis.
  3. Guru hendaknya dapat menjadi teladan bagi anak didiknya dan orang-orang disekitarnya dalam rangka menciptakan sekolah sebagai pusat kebudayaan, dengan cara : gemar membaca, rajin dan tekun belajar, ingin tahu dan suka meneliti, bertaqwa, bermoral, berdisiplin, terampil dan sebagainya.
  4. Guru hendaknya mampu membangkitkan kesadaran pada anak didik untuk ingin selalu belajar dan belajar tidak berhenti sesudah mengikuti pendidikan formal di sekolah.
  5. Berkaitan dengan penjelasan di atas, guru perlu memiliki kemampuan dalam proses pembelajaan di samping kemampuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kemampuan dalam proses pembelajaran disebut kemampuan professional.

 P E N U T U P 

            Setelah memahami topik-topik perkuliahan “Landasan ilmiah Ilmu Pendidikan” secara keseluruhan mulai dari awal sampai akhir, saya menyatakan bahwa semua topik yang telah dirancang dalam silabus perkuliahan sangat memberikan pengaruh yang berarti bagi para mahasiswa yang mengikutinya. Tidak saja  menambah dan memperluas wawasan tentang landasan dan dasar kuat tentang pendidikan tetapi juga sampai pada tahap hakikat dari sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan. Dengan demikian, para mahasiswa pada hakikatnya juga telah secara tidak langsung diperkenalkan dengan dasar dan cara pandang filsafat yang bersifat menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Ini tentu akan berguna bagi dunia pendidikan dalam memecahkan masalahnya yang bersifat kompleks.

            Sebagai feedback dari saya adalah sebaiknya materi perkuliahan ini juga diberikan kepada para calon guru atau guru yang belum pernah mengikuti perkuliahan ini, baik dari yang berlatar belakang program S1 maupun S2, agar mereka lebih paham lagi tentang pendidikan secara mendasar dan  menyeluruh.

            Di samping itu, rancangan untuk memberikan materi perkuliahan ini kepada calon guru dan guru-guru sekolah dasar adalah perencanaan yang perlu diwujudkan dan merupakan kebijakan yang perlu mendapat perhatian.  Dianggap perlu karena merekalah sebagai peletak dasar-dasar pendidikan. Adalah mustahil terbina bibit-bibit yang bernas dari siswa jika guru-gurunya tidak paham dengan hakikat pendidikan yang sebenarnya.

            Manfaatnya tentu bukan kepada guru saja tetapi juga kepada para pihak lain yang terkait dengan pendidikan, terutama kepada siswa yang memang perlu mengetahui kepentingan pendidikan sejak dari awal. Oleh karena itu, pemberian mata kuliah ini kepada para mahasiswa calon guru atau guru adalah pilihan yang sangat tepat sekali.

 DAFTAR RUJUKAN 

Adam, Don dan G M. Reagan. 1972. Schooling and Social Change. New  York: David Mc Kay Company.

 Arbi, Sutan Zanti. 1988. Pengantar kepada Filsafat

Pendidikan. Jakarta: P2LPTK.

Alwi, Hasan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

Bennedict, H.G. 1934. Pattern’s of culture. Boston: Hougton

Mifflin C.

Bernadib, Imam. 1990. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Andi

Offset.

 Bidney, David. 1959. The Philosophical Presuppositions

Cultural Absolution. In Leo R. Ward (ed): Ethics and the Social Sciences. Cienses:University of   Notre Dame Press pp 52 – 53. 

Boas, F. 1940. Race, Language, and Culture. New York: The

Free Press.

 Brameld, Theodore. 1958. Philosophis of Education in Cultural

Perspective. New York: The Dryden Press.

Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan SMA. Jakarta: Erlangga.

Depdikbud. 1957. Sekolah sebagai Pusat Kebudayaan. Jakarta:

Depdikbud Dikti.

_________ . 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

 Durkheim, E. 1961. Moral Education:Study in the Theory and

Application of the Study of the Education. New York: Free Press of Glancoe.

 Hamidy, H. Zainuddin (Penyusun).1982. Tafsir  Al-Quran:

Naskah Asli, Terjemahan, Keterangan Lengkap 30 Juz. Jakarta: Widjaya.

 Hunt, M.P. 1975. Foundations of Education, Social and

Cultural Perspective. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Jalaluddin dan Abdullah. 1997. Filsafat Pendidikan.

Yogyakarta: Gaya media Pratama.

 Joni, T. Raka. 1989. Antropologi Pendidikan: Suatu Pengantar. Jakarta: P2LPTK. 

Kardiner, A. 1939. The Individual and His society. New York:

Coumbia Universty Press.

Kartono, Kartini. 1992. Pengantar Ilmu Pendidikan. Bandung:

Mandar Maju.

 Kluckhohn, C. dan Murray H. A. 1959. Personality in Nature,

Society and Culture. New York: Alfred A. Knopt.

 Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Mentalitet, dan

Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

________ . 1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka

Cipta.

 Korotayev, Andrey. At al. 2006. Introduction to Social

Macrodynamic. Moscow: URSS.

Linton, R. 1936. The Study of Man. New York: Applenton

Century.

 Manan, Imran. 1989. Anthtropologi Pendidikan: Suatu Pengantar. Jakarta:  Depdikbud Dirjendikti PPLPTK.  

                 . 1989 Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan.

Jakarta: Depdikbud Dirjendikti PPLPTK.  

                .1990.Sejarah Antropologi II . Jakarta: Rineka Cipta.

Murdock, G.P. 1965. How Culture Change, dalam Nordkog

(ed). Sosial Change. New York: Mc Grow Hill Book Co. Inc.

Poespowardoyo, Soerjanto. 1978. Sekitar Manusia. Jakarta:

Gramedia.

Soekanto, Soerjono. 1983.  Pribadi dan Masyarakat. Bandung:

Penerbit Alumni.

________ . 1990. Sosiologi Suatu Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

________ . 1992. Sosiologi Keluarga. Jakarta: ineka Cipta.

Spindler, L. 1977. Culture Change and Modernization. New

York: Rinchart and Winston.

 Sujarwa. 2005. Manusia dan Fenomena Budaya Menuu

Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumarsono, S. 2001. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:

Gramedia.

 Sabda, Syarifuddin. 2006. Desain Pembangunan dan

Implementasi: Model Kurikulum Terpadu IPTEK dan IMTAQ. Ciputat: Quantum Teaching.

 Syam, Mohammad Noor. 1988. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat  Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional. 

Warsito, Tulus. 1999. Pembangunan Politik. Yogyakarta:

Bigraf Publishing.

 White, L. 1949. The Science of Culture: Study of  Man and

Civilization. Wringgis H.

Wiji, Suwarno. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.

Jogjakarta: Ar-Ruzz.

 Zanti, Arbi Sutan. 1988. Pengantar kepada Filsafat Pendidikan. Jakarta: P2LPTK.                                                                 

Leave a comment